Bendera negara Sang Merah Putih,Bahasa Negara Bahasa Indonesia,Lambang Negara Garuda Pancasila,Lagu Kebangsaan Indonesia Raya,Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika,Dasar Falsafah Negara Pancasila,Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional Indonesia
Bendera
negara Sang Merah Putih
Bendera Negara Indonesia yang secara singkat disebut
bendera negara adalah Sang Merah Putih. Bendera Negara Sang Merah Putih
berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari
panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang
kedua bagiannya berukuran sama. Bendera kebanggaan Indonesia ini
merangkum nilai-nilai kepahlawanan, patriotisme,
dan nasionalisme.
Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera
berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara
mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Selain
itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna
merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih
dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera
perang Sisingamangaraja XII.
Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan
sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan
kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang. Pada
waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji
berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.
Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama
kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di
bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka
dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.
Sang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan
terhadap bendera Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini
ditujukan untuk bendera Merah Putih yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus
1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi dilaksanakan.
Tetapi, selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang Saka Merah Putih ditujukan kepada
setiap bendera Merah Putih yang dikibarkan dalam setiap upacara bendera.
Bahasa Negara Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat
itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa
Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus
1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara
lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah
dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa
Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang
menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka
tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota
Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688
M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna.
Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa
Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor
ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu
Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan,
yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai
bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Informasi dari seorang
ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain,
menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen
(I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919),
Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun
(Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud
Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara,
yaitu bahasa Melayu. Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin
jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa
Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam
di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara
sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa,
dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta
makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak
budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama
dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan
dialek. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan
secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi
bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928). Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia
dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan
majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa
Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat
pusat maupun daerah.
Lambang
Negara Garuda Pancasila
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang
negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya
menoleh ke sebelah kanan heraldik, perisai berbentuk menyerupai jantung
yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas
pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid
II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh
Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara
pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal
11 Februari 1950.
,kendaraan (wahana) Wishnu tampil di
berbagai candi kuno di Indonesia,
seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran,
Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief
atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi
Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca
Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief
episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang
juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari
cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan
sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca
Garuda Jawa Kuno paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum
Trowulan.
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama
di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan
kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai
kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan
penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai
"Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para
burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki
kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan
manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna
cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam
adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi
Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional
Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih
sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia.
Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda
sebagai lambang negara.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945–1949, disusul
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja
Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik
Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950
dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator
Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia
teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A
Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota.
Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih
dan diajukan kepada pemerintah
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku "Bung
Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut
Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya
yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin
ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh
Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang
(Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta,
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga
sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah
putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal
Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri
Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan
lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk
dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda
dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu
bersifat mitologis.[2]
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara
yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga
tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden
Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh
Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar
Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang
negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang
Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[3] Ketika itu gambar
bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak
berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian
memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di
Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal
20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis
kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain
penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah
posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di
depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno
menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip
dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[2] Untuk
terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final
gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar
lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar
dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang
Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai
lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Indonesia Raya merupakan lagu kebangsaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Lagu ini diciptakan komposer sekaligus wartawan, Wage Rudolf (WR)
Soepratman.
Lagu Indonesia Raya pertama kali dilantunkan dalam pertemuan
Kongres Pemuda II atau lebih dikenal peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928.
Pada awalnya, WR Soepratman hanya ditugaskan meliput jalannya
kongres tersebut untuk koran Sin Po. Namun, dia juga berinisiatif menyebarkan
salinan lagu Indonesia Raya kepada para pimpinan organisasi pemuda yang datang.
Lagu Indonesia Raya mendapat respons yang baik dari para pemuda di
pertemuan tersebut. Di saat waktu istirahat, WR Soepratman memainkan lagunya
dengan diiringi gesekan biola.
Selanjutnya, lagu Indonesia Raya kembali dimainkan saat pembubaran
panitia kongres kedua yang diadakan pada Desember 1928. Lagu tersebut juga
dinyanyikan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929 untuk kali ketiga.
Meski sempat dilarang untuk dinyanyikan, lagu Indonesia Raya
berhasil dikumandangkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945 setelah Soekarno
membaca teks proklamasi.
Bahkan hingga kini, lagu Indonesia Raya menjadi lagu nasional yang
akan terus dilantunkan, terutama dalam upacara sekolah setiap Senin atau momen
tertentu lainnya. Berikut ini lirik lagu Indonesia Raya hasil ciptaan WR
Soepratman.
Semboyan Negara Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau
semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara
Indonesia, Garuda Pancasila. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa
Kuno yang artinya adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam". Kata neka dalam
bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu".
Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu
Itu", yang bermakna meskipun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa
Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa
Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa
kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14.
Dasar
Falsafah Negara Pancasila
Filsafat Pancasila adalah
penggunaan nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bernegara. Dalam
prinsipnya, Pancasila sebagai filsafat merupakan perluasan
manfaat dari yang bermula sebagai dasar dan ideologi, merambah hingga produk
filsafat (falsafah). Pancasila sebagai produk filsafat berarti digunakan
sebagai pandangan hidup dalam kegiatan praktis. Ini berarti Filsafat Pancasila
mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah
laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai filsafat juga
berarti bahwa pancasila mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat
menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila. Hal yang mendasari
pernyataan ini adalah karena pada hakikatnya Pancasila memiliki sistem nilai
(value system) yang didapat dari penggalian dan pengejawantahan nilai-nilai
luhur mendasar dari kebudayaan bangsa Indonesia sepanjang sejarah, berakar dari
unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu
menjadi kebudayaan bangsa Indonesia[1]. Hal inilah yang kemudian
ditangkap sebagai hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para
tokoh pendiri bangsa (The Founding Father) Indonesia (yang merupakan prinsip
dasar filsafat) dan merumuskannya dalam suatu sistem dasar negara yang
diatasnya berdiri sebuah Negara Republik Indonesia.[2] Pertanyaan:”Di
atas dasar apakah negara Indonesia didirikan?” menjadi awalan yang
sangat fundamental dalam perumusan Pancasila ketika mereka bersidang pertama
kali di lembaga BPUPKI...
Dinamika dan Tantangan Identitas Nasional Indonesia
Secara
sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup semangat
kebangsaan(nasionalisme) Indonesia, negara-bangsa (nation-state) Indonesia,
dasar negara Pancasila, bahasanasional, bahasa Indonesia, lagu kebangsaan
Indonesia Raya, semboyan negara 'BhinnekaTunggal Ika', bendera negara sang saka
merah putih, konstitusi negara UUD 1945, integrasiWawasan Nusantara, serta
tradisi dan kebudayaan daerah yang telah diterima secara luas
sebagai bagian integral budaya nasional setelah melalui proses tertentu
yang bisa disebut sebagai'mengindonesia', yang berarti proses untuk mewujudkan
mimpi, imajinasi, dan cita-cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil,
makmur, berharkat, dan bermartabat, baik ke dalammaupun ke luar dalam
kancah internasional.Karena kedudukannya yang amat penting itu, identitas
nasional harus dimiliki oleh setiap bangsa. Karena tanpa identitas
nasional suatu bangsa akan terombang-ambing. Namun apabila kita melihat
fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, identitas yang dimiliki bangsa
kita seolah-olah telah terkikis dengan adanya pengaruh yang timbul dari
pihak luar.Budaya-budaya barat yang masuk ke negara kita ini, rasanya begitu
capat di serap oleh lapisan masyarakat. Masyarakat lebih mudah mengambil
budaya-budaya barat yang tidak sesuai dengan corak ketimuran. Yang pada
dasarnya masih menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Namun kenyataannya, hal
itu sering kali di abaikan. Dengan melihat kenyataan ini, terlihat jelas
bahwaidentitas nasional telah mulai terkikis dengan datangnya budaya-budaya
barat yang memangtidak sesuai dengan budaya bangsa indonesia
.
Tantangan mengembangkan identitas nasional terletak pada
pikiran dan sikap yang terbukauntuk menghormati keanekaragaman, mendorong
demokrasi yang partisipatif, memperkuat penegakan hukum, serta memajukan
solidaritas terhadap mereka yang lemah atau korban dimana negeri Indonesia
adalah ruang publik sebagai tempat kita hidup bersama.
Karena kedudukannya yang amat penting itu, identitas nasional
harus dimiliki oleh setiap bangsa.Karena tanpa identitas nasional suatu bangsa
akan terombang-ambing.Disadari bahwa rendahnya pemahaman dan menurunnya
kesadaran warga negara dalam bersikap dan berperilaku menggunakan
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya pada era
reformasi bagaikan berada dalam tahap disintegrasi karena tidakada
nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama. Oleh karena itu perlu adanya
pendukung dalam meningkatkan kesadaran terhadap nilai-nilai luhur yang dapat
dijadikan pegangan dalam bermasyarakat. Memahami dan mengerti nilai-nilai
pancasila sejak dini dalam kehidupan sekolah sangat membantu dalam meningkatkan
kesadaran dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila. Kita perlu memahami
secara penuh bahwa pancasila sebagai pedoman hidup bangsasehingga kita dapat merasa
berkewajiban dalam melaksanakannya.Tantangan terkait memudarnya rasa
nasionalisme dan patriotisme perlu mendapat perhatian.Bangsa indonesia perlu
mengupayakan strategi untuk mengalihkan kecintaan terhadap bangsaasing agar
dapat berubah menjadi bangsa sendiri. Hal tersebut perlu adanya upaya dari
generasi baru untuk mendorong bangsa indonesia untuk membuat prestasi yang
tidak dapat dibuat oleh bangsa lain. Mendorong masyarakat kita untuk
bangga menggunakan produk bangsa sendiri
Comments
Post a Comment